TANGGAMUS — Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (HAKORDIA) 2025 di Ruang Rupatama Pemkab Tanggamus pada Selasa, 9 Desember 2025, berlangsung dalam suasana kontras tajam.
Di satu sisi, Wakil Bupati (Wabup) Agus Suranto membacakan sambutan idealis mengenai gerakan moral pemberantasan korupsi. Di sisi lain, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Tanggamus, Subaru Kurniawan, menyampaikan kritik pedas mengenai praktik-praktik korupsi yang dinilai masih subur di birokrasi daerah.
Wabup Bicara Gerakan Moral dan Reformasi, Kajari Bicara Realitas di Lapangan
Dalam sambutannya, Wabup Agus Suranto menegaskan bahwa pemberantasan korupsi adalah fondasi penting menuju Indonesia Emas 2045.
Ia menyebut sejumlah langkah yang disebut sebagai bentuk komitmen Pemkab Tanggamus, mulai dari penerbitan Surat Edaran Bupati untuk pemasangan banner HAKORDIA, launching absensi fingerprint terpadu, hingga kolaborasi penyuluhan hukum bagi perangkat daerah.
"Perbaiki diri, perbaiki sistem, dan perbaiki tata kelola pemerintahan," tegasnya, menutup pidato dengan pantun bertema antikorupsi.
Namun, suasana berubah ketika Kajari Subaru Kurniawan naik podium. Melalui paparan bertajuk Forum Konsultasi Publik Pada HAKORDIA 2025, ia mengungkap berbagai “penyakit kronis” birokrasi yang masih terjadi, mulai dari mark up proyek, persekongkolan tender, hingga pungli dalam pelayanan publik dan perizinan.
Mark Up, Persekongkolan Tender, hingga Pungli di Loket Pelayanan
Kajari Subaru tidak berbicara normatif. Ia menyoroti praktik yang sudah lama menjadi rahasia umum:
Mark Up Proyek
Proyek pembangunan disebut hanya menjadi ruang empuk untuk menaikkan nilai anggaran demi keuntungan pihak tertentu, sementara kualitas pekerjaan dinomorduakan.
Persekongkolan Tender
Tender proyek digambarkan sebagai “sandiwara tahunan” yang pemenangnya sudah dapat ditebak, akibat adanya pengaturan sejak awal.
Pungli Pelayanan Publik
Masyarakat disebut masih sering dipersulit saat mengurus perizinan, bahkan dipaksa menyodorkan amplop agar urusan dipercepat.
Kajari juga menyoroti bahwa praktik korupsi tidak hanya terjadi di lingkup kabupaten. Di tingkat kecamatan, penyimpangan bahkan disebut lebih dekat dengan kehidupan rakyat kecil.
"Di Kecamatan, titik rawan korupsi justru semakin jelas. Mulai dari pelayanan publik, urusan legalitas tanah, pengelolaan dana, hingga aset,” tegas Subaru.
Ia mengingatkan bahwa penyebaran spanduk HAKORDIA dan penggunaan fingerprint ASN tidak akan mampu menekan korupsi jika tidak dibarengi tindakan serius.
Kajari menutup paparannya dengan peringatan keras. Ia mengibaratkan upaya seremonial Pemda sebagai “plester luka untuk mengobati kanker”, jika tidak disertai pembenahan mendasar serta keberanian menindak oknum-oknum yang bermain anggaran.
