GK, Bandar Lampung - Hujan baru saja reda di kawasan Teluk Betung, menyisakan genangan air yang memantulkan cahaya lampu jalan yang remang, Senin 23 Desember 2025. Di sudut sebuah warung kopi, Raka (bukan nama sebenarnya), seorang jurnalis media daring lokal, menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar.
Bukan karena dingin malam, melainkan pesan singkat yang baru saja masuk. “Berhenti tulis soal proyek itu, atau anak istrimu kami yang urus.”, Jum’at 26 Desember 2025.
Pesan itu hanyalah satu dari puluhan teror yang ia terima sepanjang tahun 2025. Bagi Raka, dan puluhan jurnalis lain di Lampung, tahun ini bukan sekadar pergantian kalender, melainkan sebuah medan perang sunyi. Perang di mana pena dan kamera berhadapan dengan kepalan tangan, intimidasi, dan ancaman kriminalisasi.
Statistik yang Berdarah
Dikutip dari sinarlampung.co, tercatat tahun 2025 menjadi rekor kelam bagi kebebasan pers di Bumi Ruwa Jurai. Berdasarkan data yang dihimpun dari lembaga advokasi pers dan laporan kepolisian, tercatat setidaknya 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi di Provinsi Lampung sejak Januari hingga Desember ini. Angka ini melonjak tajam dibandingkan tahun sebelumnya.
Bentuk kekerasannya pun bermutasi. Jika dulu dominan berupa pemukulan fisik di lapangan, tahun 2025 trennya bergeser ke ranah yang lebih senyap namun mematikan mulai dari doxing (penyebaran data pribadi), peretasan akun media sosial dan website, hingga teror psikologis terhadap keluarga.
Kasus yang menimpa jurnalis di Lampung Utara pada pertengahan tahun, misalnya, menjadi bukti nyata. Saat meliput sengketa lahan, bukan hanya kameranya yang dirampas, namun mobilnya dibakar orang tak dikenal. Hingga kini, pelaku intelektualnya tak pernah tersentuh hukum.
Akar Masalah Korupsi dan Arogansi
Mengapa angka ini melonjak? Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bandar Lampung Dian Wahyu Kusuma dalam sebuah diskusi akhir tahun menyebutkan bahwa tingginya intensitas liputan investigasi terkait korupsi anggaran daerah dan proyek infrastruktur menjadi pemicu utama.
“Tahun 2025 adalah tahun di mana transparansi dipaksa mundur. Ketika jurnalis mencoba membuka kotak pandora dugaan korupsi—mulai dari dana desa, proyek jalan, hingga skandal perbankan—respons yang diterima bukan hak jawab, melainkan premanisme,” ujarnya.
Kasus dugaan korupsi di salah satu bank BUMN di Pringsewu dan sengketa aset pejabat daerah yang marak diberitakan akhir-akhir ini, menjadi contoh nyata betapa sensitifnya “orang-orang kuat” ketika sorotan media mengarah pada mereka. Jurnalis yang meliput persidangan kerap kali harus berhadapan dengan massa bayaran yang diorganisir untuk mengintimidasi.
Trauma di Balik Berita
Dampak dari kekerasan ini melampaui luka fisik. Ada luka batin yang membuat banyak jurnalis memilih untuk melakukan self-censorship (penyensoran mandiri). Rasa takut untuk menulis berita kritis mulai menjalar.
“Saya mencintai pekerjaan ini. Tapi ketika mereka mulai menyebut nama sekolah anak saya, saya mundur. Tak ada berita seharga nyawa,” ungkap Raka dengan tatapan kosong.
Inilah kemenangan terbesar para pembungkam pers, bukan saat jurnalis dipukul, tapi saat jurnalis berhenti bertanya.
Menanti Ketegasan Hukum
Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang seharusnya menjadi tameng, seringkali tumpul di hadapan realitas lapangan. Banyak kasus kekerasan berakhir dengan “jalan damai” di bawah tekanan, atau menguap begitu saja karena minimnya bukti visum, padahal kekerasan psikis tak meninggalkan bekas memar di kulit.
Menjelang tahun 2026, harapan masih digantungkan. Kapolda Lampung dan jajarannya dituntut untuk tidak hanya sekadar menerima laporan, tetapi benar-benar menyeret pelaku kekerasan ke meja hijau. Tanpa penegakan hukum yang tegas, kekerasan terhadap jurnalis akan menjadi “new normal” yang mengerikan.
Malam semakin larut di Bandar Lampung. Raka akhirnya menutup ponselnya, meminum sisa kopi yang sudah dingin. Besok ia masih harus bekerja, masih harus meliput. Namun, di benaknya tertanam satu pertanyaan besar, Sampai kapan pena ini bisa bertahan sebelum benar-benar dipatahkan?. (Red)
