Lampung Darurat Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak


Opini: Hidayah Boru Regar
[Pemerhati Perempuan dan Anak, dan Mahasiswi Tingkat Akhir UIN Lampung]

DALAM satu bulan terakhir, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak marak diberitakan. Pelaku mulai dari orang terdekat sampai orang tak dikenal.

Awal Tahun 2023  ini boleh dibilang sebagai masa yang kelam buat Perempuan dan anak-anak. Kasus kekerasan seksual terhadap mereka begitu marak dengan korban yang menjadi mangsa para predator seks semakin banyak.

Kasus kekerasan seksual terhadap Perempuan dan anak pun menjadi berita nan memilukan sekaligus membuat kita geram akhir-akhir ini. Di Kabupaten Way Kanan , Provinsi Lampung, seorang anak mencabuli anak di bawah umur, di Pringsewu seorang bapak kandung tega melakukan pencabulan terhadap anak kandungnya sendiri, belum lagi yang terjadi di pondok pesantren yang diharapkan tempat teraman bagi para santriwati untuk menimba ilmu dan membentuk karakter anak.

Kasus-kasus tersebut menambah panjang daftar perkara kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Masalah ini harus menjadi perhatian semua pihak, dan harus ada tindakan tegas baik dari Pihak Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif, untuk membuat kebijakan dan strategi dalam mengatasi masalah ini.

Penulis berpendapat, Pemerkosaan adalah kejahatan paling primitif yang masih diwarisi oleh generasi masa kini. Dalam beberapa jenis kejahatan lain, pelaku bisa saja lalai sehingga berbuat jahat. Namun, dalam pemerkosaan selalu ada manifestasi kesengajaan sebagai derajat paling rendah dari mens rea atau niat dari pelakunya.

Pemerkosaan adalah kejahatan yang amat sulit termaafkan, apalagi kalau sasarannya anak-anak. Terlebih jika sang pelaku adalah seorang guru. Terlebih lagi jika sang guru adalah pendidik di sekolah keagamaan, atau pondok pesantren.

Sebagai guru, mereka semestinya mengajarkan hal-hal yang baik dan menjadi teladan moral, bukan malah menjadikan murid sebagai korban perilaku buruknya. Mereka sejatinya penjahat seks berkedok guru. Mereka adalah sejahat-jahatnya orang.

Oleh karena itu, mereka harus dihukum maksimal, tidak boleh setengah-setengah, apalagi minimal. UU tentang Perlindungan Anak menggariskan ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun dengan denda paling banyak Rp5 miliar. Tak perlu didebat, hukuman penjara 15 tahunlah yang paling pas buat mereka. Tak ada yang bisa meringankan kendati mereka meminta maaf sampai mulut berbusa.

Hukuman penjara saja juga tak cukup. Penjahat seksual, apalagi terhadap anak, ada kecenderungan mengulang perbuatannya jika ada kesempatan. Karena itu, agar tak berjatuhan korban-korban baru, hukuman kebiri mesti pula ditimpakan.

Kebiri sudah diatur dalam hukum positif. Tata cara pelaksanaannya pun sudah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 yang berlaku mulai 7 Desember 2020. Aturan dibuat bukan untuk sekadar pajangan. Karena itu, laksanakan hukum kebiri kimia kepada para penjahat seks terhadap anak.

Kekerasan seksual, apalagi terhadap anak, bukanlah kejahatan kaleng-kaleng. Ia kejahatan serius yang menimbulkan dampak sangat serius bagi korban, tak hanya saat ini, tapi juga masa depan. Karena itu, ia mesti diperangi dengan super serius.



Editor: Pinnur Selalau
[Redaktur Pelaksana Lampung7.com]

Posting Komentar

0 Komentar