Harimau Sumatera (Batua) Harus Dilepas Liarkan Ke Habitatnya


GK,BANDAR LAMPUNG | Upaya konservasi harimau memberi peluang luar biasa dalam penyelamatan keanekaragaman hayati global. Sebagai spesies payung, melindungi harimau sama dengan melindungi hutan yang merupakan habitatnya.

Yayasan Masyarakat Hayati Indonesia (YMHI) mengadakan kegiatan Dialog Khusus tentang Konservasi Satwa Liar yang dilindungi bertempat di Lamban Gedung Kuning (LGK) jalan Pangeran Suhaimi, Sukarame Bandar Lampung, Rabu (09/08/2023).

YMHI mengatakan kegiatan itu, didasarkan atas pertimbangan berbagai macam persoalan konservasi satwa liar yang dilindungi di Provinsi Lampung yang perlu untuk dilakukan kajian khusus.

Kegiatan tersebut dihadiri Dr.Ir Wiratno tenaga ahli konservasi dan kemitraan Konservasi Kementerian LHK-RI, selaku narasumber utama dalam dialog khusus tersebut.

Selain daripada itu, peserta diskusi juga dihadiri oleh perwakilan dari Watala, dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Yayasan Badak Indonesia (Yabi) TNBBS, Dinas lingkungan hidup (DLH) Provinsi Lampung, Dinas Kehutanan Provinsi Lampung dan perwakilan ormas dari Laskar Lampung Indonesia (LLI) DPC Lampung Timur, serta beberapa orang pemerhati dan pencinta lingkungan hidup.

Adapun fokus yang didiskusikan dalam kegiatan tersebut adalah keberlangsungan hidup Harimau Sumatera (Batua) yang beberapa waktu lalu kaki kanan bagian depan terkena jerat yang dipasang oleh masyarakat di daerah Suoh Lampung Barat, sehingga menyebabkan jarinya sampai di amputasi.

Dan Harimau Sumatera (Batua) itu sendiri saat ini masih berada di Taman Hiburan Rakyat (THR) Lembah Hijau dan belum dilepas liarkan kembali ke habitatnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang merupakan tempat tinggal Satwa Liar yang dilindungi.

Menurut Direktur YMHI Ir Almuhery Ali Paksi, apapun alasannya Harimau Sumatera (Batua) harus dikembalikan kehabitatnya di TNBBS.

"Apapun alasan yg disampaikan para pihak, prinsipnya batua harus segera dikembalikan ke kampung halamannya di TNBBS, prinsip konservasi lebih baik dia mati di kampung halamannya /habitat aslinya, ketimbang hidup di kandang kucing THR lebah hijau," Tegas Almuhery.

Dilain Pihak, Wiratno yang juga mantan Dirjen KSDAE Kementerian LHK-RI mengatakan bahwa, untuk masalah Harimau Sumatera (Batua) yang saat ini ada di THR Lembah Hijau perlu adanya peningkatan komunikasi untuk melepaskan liarkannya kembali ke habitatnya di TNBBS.

"Saya kira komunikasi yang harus ditingkatkan, persiapan-persiapan dan ada tata waktu yang pas untuk melepas liarkan kembali Batua ke habitatnya di TNBBS," ujar Wiratno.

Dia pun setuju bahwa satwa liar itu yang terbaik adalah dilepaskan dihabitatnya.

"Saya setuju bahwa satwa liar itu yang terbaik adalah dilepaskan dihabitatnya,  ini habitat kita memang tidak aman jadi harus disiapkan seperti bersih jerat, makanan yang cukup, tapi itu semua dalam rencana tata waktu yang pasti," ucap Wiratno.

Wiratno juga mengatakan bahwa dia akan mengusulkan kepada Dirjen KSDAE Kementerian LHK-RI untuk meninjau langsung Harimau Sumatera (Batua) di Lembah Hijau saat Kunker nya ke Lampung pada tanggal 11 Agustus nanti.

Lain halnya dengan Irjen Pol (Purn) DR Hi Ike Edwin SH, MH, MM yang akrab disapa Dang Ike dan mantan Kapolda Lampung serta tokoh adat Lampung itu, dia mengatakan bahwa, Berdasarkan data 20 tahun terakhir, ada sekitar 3.000-an harimau yang disita dalam kasus perdagangan secara global.  Indonesia ada di urutan ketiga. Artinya, minat terhadap kepemilikan satwa liar atau harimau secara global sangat besar.

“Jika ada banyak kasus kepemilikan satwa liar [harimau], dikhawatirkan akan memicu banyak pihak untuk meniru, sehingga angka perburuan dan perdagangannya bisa naik. Apalagi jika pemelihara ini punya pengaruh yang sangat luas terhadap publik,” ujarnya.

Selain itu, motif edukasi dalam kasus kepemilikan satwa tidak bisa dilegitimasi, karena edukasi ada pada ranah konservasi.

“Edukasi terkait satwa liar harus menyeluruh dan menggambarkan kondisi alami satwa di alam liar, bukannya show atau pertunjukan semata. Banyak alternatif yang bisa digunakan untuk edukasi, tidak harus melibatkan kontak langsung dengan harimau,” lanjutnya.

Para penangkar harimau juga seringkali menggunakan jastifikasi khawatir dengan keadaan populasi harimau di alam. Namun sebaliknya, dalam penangkaran, fungsi ekosistem satwa liar tidak akan berfungsi. Hal lain yang juga penting diperhatikan adalah pemenuhan kesejahteraan satwa liar itu sendiri, mulai dari nutrisi, kepuasan saat makan, interaksi, insting liar dan sebagainya.

“Karenanya, penting untuk tetap mejaga satwa liar tetap di alam liar. Sehingga, fungsi positif mereka dalam ekosistem bisa dirasakan oleh semua makhluk hidup di bumi,” tegasnya. [Feby]

Posting Komentar

0 Komentar